The Single Finest Strategy To make use Of For Islam Revealed

Sedangkan bagi siapa saja yang memperhatikan perkataan Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhajus Sunnah An Nabawiyah, yaitu ketika beliau memberikan pengantar tentang pembahasan makna al imamah menurut para cendikiawan Islam dan kalangan ahlus sunnah, maka ia akan mendapati kecacatan makna imamah (menurut rafidhah), baik secara syar’i maupun akal. Para ulama telah banyak membahas panjang lebar tentang makna yang timpang (dari keyakinan kaum rafidhah – pink.) ini. Saya telah banyak duduk bermajelis dengan mereka, kebanyakan niat mereka dari bermajlis tersebut adalah ingin mendapatkan rekomendasi saya atas keyakinan yang mereka anut. Saya juga mengatakan kepada mereka, bahwa hakekat (kebenaran) menurut pandangan universal adalah sesuainya kata-kata dengan makna yang sesungguhnya, begitu juga hakekat syariat. Saya telah berbicara panjang lebar dengan mereka, dimana bahwa setiap orang yang baru belajar agama, maka akan mengetahui kebodohan mereka ini, apalagi para penuntut ilmu yang mumpuni keilmuannya, maka ia faham dan memiliki bashirah (ketajaman pandangan) akan bodohnya klaim semacam ini. Mereka mengajak kepada seluruh kaum muslimin di seluruh dunia untuk membai’at amir mereka sebagai khalifah, yang mana sebelumnya sudah ada yang menyampaikan kepada saya bahwa mereka akan melakukannya, yaitu para ikhwah di Syam, dan mereka telah meminta berulang kali kepada saya untuk menulis pandangan syariat tentang apa yang mereka kerjakan, sebagaimana Syaikh kami yang penyabar Abu Muhammad Al Maqdisi juga telah meminta kepada saya untuk menulis suatu makalah, ketika beliau yakin bahwa Tanzhim (Daulah) telah menolak ajakan perdamaian antara mereka dengan Jabhah Nushrah, dengan alasan bahwa mereka adalah negara dan tidak ada di dalam agama maupun sejarah ada negara yang duduk bersama dengan pihak lain untuk berdamai (klaim dusta dan menyimpang mereka).

PERTAMA: Di antara bentuk ingusannya Jamaah Khilafah, dan ia adalah jamaah yang terbentuk di atas kebodohan, termasuk bentuk keburukannya adalah ketika mereka mengklaim bahwa hakekat kekhilafahan (imamah al ‘uzhma) adalah jika ada satu orang dari umat Islam yang membai’at satu orang lain dari kalangan ahlul bait untuk dijadikan pemangku gelar yang agung ini (khalifah). Kesesatan yang kalian ambil dari rafidhah adalah dari sisi pemberian gelar imam kepada orang yang tidak diketahui keberadaannya, yaitu imam mereka yang kedua belas, Muhammad bin Al Hasan Al Askari. Ketika itu perkataan terakhir yang saya tujukan kepada sang khalifah abal-abal ini adalah : Sesungguhnya cara kalian ini berarti menggabungkan kesesatan rafidhah dan khawarij sekaligus. Nikmat yang wajib disyukuri itu ada kalanya nikmat duniawi seperti sehat lahir dan batin. Kemudian yang sifatnya agama, seperti ilmu, amal, takwa, makrifat dan yang paling besar adalah nikmat iman dan islam itu juga wajib disyukuri. Atau kita menggunakan nikmat itu kepada sesuatu yang membawa maksiat memang tidak maksiat tapi membawa kepada maksiat seperti seperti kita mendapatkan harta yang halal kemudian dibelanjakan pada Arak atau minuman keras. Karenanya kekhilafahan itu adalah istilah yang memiliki hakekat, bukan istilah yang maknanya tidak masuk akal, yang disematkan pada sesuatu yang nihil, lalu mereka jadikan itu sebagai hakekat syariat sebagaimana yang mereka klaim, dan mereka membantah bahwa ini – syarat-syarat imamah – belum ditetapkan oleh syariat.

Masuk dalam kafir nikmat menggunakan nikmat itu untuk maksiat. Seperti kita menyangka bahwa harta atau uang yang halal itu datang dari si fulan atau dari usahanya, lupa akan bahwa itu merupakan pemberian dari Allah. 3. Hadits Abdul Qais: “Ketika utusan Abdul Qais datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bertanya kepada mereka: “Kaum manakah ini atau utusan siapakah ini? Karim, Abdul (2012). “Islam, Bengal”. Mendo’akan dan memuji atas perantara datangnya nikmat. Jika kita mensyukuri nikmat Allah maka kita telah mengikat nikmat dan mengudang datangnya nikmat yang lainnya. Dari hikmah yang artinya barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat-nikmat yang diberikan allah maka sungguh dia mengusahakan untuk hilangnya nikmat itu dan barang siapa yang mensyukuri nikmat-nikmat itu maka sungguh dia mengikat nikmat itu dengan talinya. Sehungguhnya Allah itu maha kaya. Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Dan hakekat-hakekat dari kata-kata itu adalah ketika tujuannya (tujuan khilafah – red.) telah berhasil diwujudkan. Maksudnya syukur itu merupakan pengikat nikmat yang telah ada. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.QS.

Allah SWT mengancam bahwa Azab-Ku sungguhlah pedih. Shalat merupakan ibadah yang diwajibkan Allah SWT kepada kita umat Islam. Kalaupun kita tidak bersyukur maka Allah-pun tidak rugi. Ketika kalian menamakan khayalan kalian yakni gelar syar’i yang diberkahi (khilafah) maka kalian dalam hal ini mengikuti manhaj kaum rafidhah. Telah tersiar dan tersebar apa yang diumumkan oleh Jamaah dan Tanzhim Daulah Islamiyah di Iraq dan Syam berupa pengumuman bahwa mereka beserta pemimpin mereka adalah jamaatul muslimin, atau al khilafah al islamiyah al ‘uzhma. Dalih yang sering kali mereka andalkan adalah hadits Nabi Muhammad Saw: “Setiap syarat yang bukan dari Kitab Allah adalah batil”, dan saya telah berusaha untuk menjelaskan hakekat dari kata khilafah, imamah dan imarah kepada mereka. Salah satu hikmah dari kitab Al hikam karangan Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Serta nikmat yang bersifat akhirat sepertinya pahala yang besar diberikan oleh Allah dari amalan yang sedikit seperti shalat dua rakaat diganjar dengan diberikan pahala kebaikan yang lebih besar dari kebaikan dunia. Seperti berpakaian yang bagus dengan niat menampakan nikmat Allah. Barang siapa yang bersyukur maka dia bersyukur untuk dirinya. Jika makna-mana ini tidak ada , maka hilang pula sebutan syar’inya, dan ini adalah pernyataan yang bahkan anak kecil sekalipun faham, namun jawaban mereka selalu: “ini adalah filsafat, dan kami tidak memahaminya”.